Bab 2
Teori-teori Belajar Awal
Di
awal abad ke 20, disiplin psikologi yang baru terbentuk sedang mencari arah dan
fokus. Psikologi juga ingin mengembangkan sains pasti seperti fisika dan kimia.
Akan tetapi, disiplin ini belum memiliki metode riset yang pasti. Dari sini
lahir behaviorisme, yang diperkuangkan oleh pendirinya, B. Watson. Dua pendekatan
awal untuk mempelajari perilaku adalah pengkondisian klasik dan koneksionisme. Keduanya
memprioritaskan belajar dan berhasil mengolah berbagai perilaku dalam
laboratorium. John Watson mendukung studi perilaku. Alasannya adalah semua
organisme menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui respons, dan
respon-respon tertentu biasanya disebabkan oleh peristiwa (stimuli) tertentu. Dengan
mempelajari perilaku, psikolog akan mampu untuk memprediksi respon yang
ditimbulkan lewat srimulus, dan sebaliknya.
Istilah
behaviorisme merujuk pada beberapa teori yang mengandung tiga asumsi dasar
tentang belajar. Asumsi ini adalah :
- Yang menjadi fokus studi seharusnya adalah perilaku yang dapat di amati, bukan kejadian mental internal atau rekonstruksi verbal atas kejadian.
- Perilaku harus dipelajari melalui elemennya yang paling sederhana (stimuli spesifik dan respon spesifik).
- Proses belajar adalah perubahan behavioral. Suatu respon khusus terasosiasikan dengan kejadian dari suatu stimulus khusus, dan terjadi dalam kehadiran stimulus tersebut.
Pavlov dan Pengkondisian Klasik
atau Refleks
Eksperimen
terkenal terhadap refleks dilakukan di laboratorium Ivan Pavlov, beliau
menemukan bahwa reaksi tidak sengaja, keluarnya air liur, dapat dilatih untuk
merespon suara yang tidak berhubungan dengan makanan. Riset dilaboratorium
Pavlov ini penting karena ia menunjukkan bahwa reaksi keluarnya air liur adalah
refleks-reaksi spontan yang terjadi secara otomatis ketika menerima stimulus
tertentu. Mengubah relasi alamiah antara stimulus dan reaksi itu dianggap
sebagai terobosan penting dalam studi perilaku.
Behaviorisme John Watson
Selain
mengajak orang lain untuk mendukung pendapat behaviorisme yang didasarkan pada
pengkondisian klasik, Watson juga mengembangkan teori emosi behavioral, dia
berpendapat bahwa kehidupan emosi orang dewasa bersumber dari pengkondisian
reaksi emosioanal insting (cinta,marah.takut) terhadap berbagai macam objek dan
peristiwa. Watson menunjukkan teorinya dalam eksperimen dengan Albert, bayi
usia 11 bulan. Reaksi takut Albert dikondikan ke tikus putih dan reaksi ini di
transfer ke kelinci putih.
Koneksionsime Edward Thorndike
Meskipun koneksionisme Edward Thorndike
biasanya dirujuk sebagai teori behavioris, ia berbeda dengan pengkondisian
klasik dalam dua hal.
- Thomas Thorndike tertarik dengang proses mental, dan dia pertama-pertama mendesain eksperimennya untuk meneliti proses pemikiran binatang.
- Alih-alih meriset reaksi refleks atau tidak sukarela, Thorndike meneliti perilaku mandiri atau sukarela.
Thorndike
menyebut eksperimen ini sebagai pengkondisian instrumental untuk merefleksikan
perbedaannnya dengan pengkondisian klasik. Teori ini dikenal sebagai
koneksionisme karena hewan membangun koneksi antara stimuli partikuler dengan
perilaku mandiri.
Thorndike
pada awalnya mengidentifikasi tiga hukum belajar, untuk menjelaskan proses ini.
- Hukum efek (low of effects) menyatakan bahwa suatu keadaan yang memuaskan setelah respon akan memperkuat koneksi antara stimulus dan perilaku yang tepat, dan keadaan yang menjengkelkan akan melemahkan koneksi tersebut.
- Hukum latihan (low of exercise) menyatakan bahwa perulangan atau repetisi dari pengalaman akan meningkatkan peluang respon yang benar.
- Hukum kesiapan (low of readiness) mendeskripsikan kondisi yang mengatur keadaan yang disebut sebagai “memuaskan” atau “menjengkelkan”
Thorndike
mendasarkan interpretasinya atas proses belajar pada studi perilaku. Namun,
karena teorinya juga mencakup referensi ke kejadian mental, teorinya berada
ditengah-tengah antara perspektif kognitif dan behaviorisme “murni” dari
periset lain. Dua pendekatan belajar lainnya, yang disebut teori S-R,
dikembangkan oleh Clark Hull dan Edwin Guthrie. Hull mendeskripsikan penguatan
sebagai pemenuhan kebutuhan biologis dan Guthrie mengidentifikasi prinsip
belajar tunggal, asosiasi atau kontiguitas dari stimulus dan respon.
Psikologi Gestalt
Fokus
awal riset Gestalt adalah pengalaman persepsi. Riset yang dilakukan psikologi
Gestalt terhadap persepsi visual menunjukkan bahwa :
- Ciri global dideteksi sebagai keseluruhan, bukan sebagai elemen-elemen sederhana
- Proses ini konstruktif karena individual sering mentransformasikan input visual yang tidka lengkap ke dalam citra perseptual yang lebih jelas.
Asumsi
dasar teori Gestalt adalah:
- Yang mestinya dipelajari adalah perilaku molar bukan perilaku molecular (kontraksi otot atau sekresi kelenjar)
- Organisme merespon “keseluruhan sensoris yang tersegregasi” ketimbang pada stimuli spesifik atau kejadian-kejadian yang terpisah dan independent
- Lingkungan geografis yang hadir sebagaimana adanya, berbeda dengan lingkungan behavioral, yang merupakan cara sesuatu muncul. Lingkungan behavioral adalah realitas subjektif.
- Organisasi lingkungan sensoris adalah interaksi dinamis dari kekuatan-kekuatan di dalam struktur yang mempengaruhi persepsi individu.
Karakteristik
tampilan stimulus yang mempengaruhi persepsi adalah komprehensivitas dan
stabilitas gambaran (hukum pragnanz) dan karakteristik lain yang memberi
kontribusi pada kelengkapan struktur atau pola.
Psikologi
Gestalt memberikan kontribusi beberapa konsep untuk memahami pemecahan masalah.
Mungkin yang paling terkenal adalah konsep pemahaman (wawasan), yang melibatkan
reorganisasi persepsi seseorang untuk “melihat” solusi. Analisi kontemporer
mengindikasikan bahwa pemahaman kreatif pada masalah baru memerlukan kerja
keras dan riset, periode inkubasi, momen wawasan, dan pengkajian lebih lanjut.
Dalam kehidupan sehari-hari, wawasan terhadap masalah mungkin diperoleh lewat
pengaturan kembali beberapa aspek dari persoalan, elaborasi, dan relaksasi
pembatas.
Kontribusi
lain dari psikologi Gestalt adalah pembedaan oleh Wertheimer atas belajar
arbitrer (tanpa makna) dan belajar bermakna, dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhipemecahan masalah. Didalamnya mencakup pengidentifikasian masalah
untuk menyusun solusi yang memiliki nilai fungsional, peran penemuan pemecahan
masalah yang bermakna dengan panduan, dan menghindari pembatasan pemecahan
masalah. Hal-hal yang membatasi itu antara lain adalah kekakuan fungsional,
yakni ketidakmampuan untuk melihat elemen-elemen dari masalah dengan cara baru
dan belenggu masalah, yakni kekuatan dalam memecahkan masalah. Perkembangan lainnya
adalah aplikasi konsep Gestalt ke formal kelompok sosial dan motivasi serta
konsep belajar laten.
Perbedaan antara Behaviorisme dan Teori
Gestalt
Psikologi
behaviorisme dan Gestalt mendasarkan risetnya pada asumsi yang berbeda mengenai
sifat dan belajar dan fokus studinya. Behaviorisme mendefinisikan belajar
sebagai perubahan perilaku dan mengidentifikasi stimuli dan respons spesifik
sebagai fokus riset. Sedangkan, psikologi Gestalt berpendapat bahwa sesorang merespon
stimuli yang berorganisasi dan persepsi perorangan adalah faktor penting untuk
memecahkan masalah. Orientasi yang berbeda ini menimbulkan kontribusi berbeda
untuk bidang pendidikan.
No comments:
Post a Comment